Hari ini (10/8) proses transisi kepemimpinan di Indonesia telah dimulai. Dua pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan yang pertama mendaftar adalah Capres-Cawapres Ir. Joko Widodo dan Prof KH. Ma'ruf Amin, lalu disusul Capres-Cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ajaran Islam telah mengajarkan fungsi kepemimpinan baik dalam bernegara hingga kepemimpinan terkecil dalam rumah tangga. Kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah amanah yang harus ditunaikan, bukan kemuliaan yang dibanggakan.
Kepemimpinan adalah sarana yang dapat membuka pintu-pintu kebaikan, meminimalisir keburukan, dan menebar berbagai kemaslahatan, bukan tujuan akhir perjuangan. Apabila ia disalah artikan dan disalah gunakan, maka akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan.
Kepemimpinan ditegakkan untuk mewujudkan rasa aman, menegakkan keadilan, menciptakan kemakmuran, dan yang lebih penting adalah untuk membimbing manusia, agar beribadah kepada Allah SWT semata.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nuur: 55).
Ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa fungsi utama kepemimpinan adalah membimbing manusia agar mengorientasikan segala gerak hanya kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Bukan hanya memberikan rasa aman, menegakkan keadilan, dan menciptakan kemakmuran. Sebab Meski rasa aman terwujud, keadilan ditegakkan, dan kemakmuran tercipta, namun jika penduduknya tidak mensyukuri nikmat Allah SWT, bahkan menggunakan nikmat itu untuk durhaka kepada-Nya, maka bencana yang akan datang, sehingga rasa aman akan berubah menjadi rasa takut, keadilan akan berubah menjadi kezhaliman, dan kemakmuran akan berubah menjadi kelaparan.
Itulah mengapa Allah SWT menjanjikan akan memberikan kekuasaan dimuka bumi ini untuk mereka yang beriman dan beramal shaleh.
Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menurunkan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (An-Nahl: 112).
Allah SWT juga menceritakan kisah sebuah Negara yang aman makmur yang pernah ada di muka bumi, kemudian karena penduduknya kufur pada nikmat-Nya, maka mereka diliputi oleh berbagai bencana dan akhirnya keamanan, keadilan, dan kemakmuran pun hilang. Kisah tersebut antara lain adalah kisah kaum Saba’ yang terdapat dalam beberapa Surat. Juga kisah para pemilik kebun yang subur dan makmur, tetapi ketika mereka tidak lagi bertasbih dan mengagungkan Allah SWT, maka kebun tersebut ludes dilahap bencana.
Oleh karena itu, pemimpin tidak boleh hanya berkonsentrasi pada hal-hal terkait dengan pembangunan materil, atau kemakmuran lahir saja, tetapi harus memperhatikan pula kualitas keagamaan umatnya. Pemimpin harus bekerja keras dengan memanfaatkan segala kewenangan, kekuasaan, dan fasilitas yang ada untuk membimbing manusia kepada penghambaan hanya kepada Allah swt. Sebab semakin bagus kualitas penghambaan suatu penduduk, maka semakin nyata kemakmurannya.
Allah SWT berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)
Tugas pemimpin seperti ini ditegaskan oleh Allah SWT ketika menjelaskan peran kenabian, “Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Fath: 8-9).
Rasulullah SAW menegaskan peran beliau dalam menyelamatkan umat manusia,
إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ أُمَّتِي كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَتْ الدَّوَابُّ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهِ فَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ وَأَنْتُمْ تَقَحَّمُونَ فِيهِ
”Sesungguhnya perumpamaanku dan umatku, seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian hewan-hewan bergegas mengerumuninya. Maka aku menarik pengikat kain sarung kalian, tetapi kalian tetap masuk ke dalam api (neraka).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan peran dan tugas Rasulullah SAW, di mana beliau mengumpamakan dirinya seperti seseorang yang menyalakan api. Mengumpamakan manusia seperti hewan-hewan sejenis laron. Mengumpamakan syahwat yang mendorong seseorang berbuat maksiat, hingga menjerumuskannya ke neraka dengan api yang dinyalakan. Rasulullah SAW berupaya menyelamatkan dan membimbing umatnya agar selamat dari neraka, akan tetapi banyak manusia yang tidak mengikuti bimbingan dan peringatannya, sehingga mereka layak masuk ke neraka. Sebagaimana hewan-hewan yang bersuka ria di sekeliling api, akhirnya mereka mati terbakar.
Apabila pemimpin muslim itu pewaris tugas kenabian, maka seharusnya ia memanfaatkan jabatannya untuk membimbing dan mengkondisikan manusia agar beriman kepada Allah SWT, membela syari’at-Nya, dan mengoptimalkan hidup untuk beribadah kepada-Nya.
Selamat menikmati kepemimpinan Islam yang berkah dan membawa kemuliaan umat dan bangsa. #
Adhi Azfar
Ketua Umum YMI
0 Response to "Kepemimpinan dalam Islam "
Post a Comment