Ketua
Umum YMI
Adhi Azfar
Adhi Azfar
Jumat,
3 November 2017
Ba’da
Tahmid dan Shalawat
Hari-hari
belakangan ini, dan juga hari-hari kedepan dan seterusnya, kita menghadapi
sebuah fenomena yang bernama digitalisasi. Era digital, ini menuntut kita untuk
lebih responsif mengantisipasi perubahan, dan lebih cepat melahirkan
inovasi-inovasi. Era digital ini telah masuk pada berbagai sektor kehidupan,
cepat atau lambat akan menggeser pola hidup, perilaku dan yang paling
ditunggu-tunggu, akan mengubah peradaban manusia.
Sejarah
telah mencatat perubahan pola kehidupan manusia. Yang pertama, cara
berkomunikasi. Dulu orang-orang berkomunikasi memanfaatkan hewan, misalnya
burung untuk menyampaikan secarik kertas berisi informasi untuk seseorang nun
jauh disana. Setelah itu muncul peradaban surat-menyurat menggunakan jasa pos.
Lalu berkomunikasi menggunakan telepon, ada telepon rumah dan telepon kantor.
Sekarang komunikasi semakin massif menggunakan teknologi WhatsApp dimana semua
orang dapat menikmati informasi dari seberang lautan hanya dalam hitungan
detik.
Kedua,
cara belanja. Dulu, orang-orang belanja dengan cara barter, belum ada alat
tukar menukar seperti uang. Punya beras dibarter dengan gula. Ada yang panen
singkong ditukar dengan orang lain yang panen buah, begitu seterusnya. Di era
1900an, orang tua kita belanja barang di toko, lalu dihitung dengan menggunakan
kalkulator, dicatat apa saja barang yang dibeli, lalu dibayar dengan
menggunakan uang tunai. Beralih ke peradaban selanjutnya, yaitu belanja di toko
dan membayarnya di meja kasir tanpa perlu ada kalkulator, cukup didekatkan ke
mesin yang bisa membaca barcode yang tertera pada label barang yang dibeli.
Waktu
itu pembayarannya masih menggunakan uang tunai, sekarang tumpukan uang kertas
itu sudah di insert kedalam sebuah kartu bernama electronic money (uang
elektronik). Tak perlu repot-repot bawa uang kemana-mana, cukup sebuah kartu yang
bisa menyimpan uang. Dulu orang yang disebut kaya raya adalah orang yang
berkantong tebal, tetapi sekarang, orang yang kantongnya terlalu tebal karena
menyimpan banyak uang adalah orang yang ketinggalan zaman.
Jamaah
Sidang Jumat yang berbahagia
Di
sektor lainnya pergeseran pola hidup juga terjadi. Dulu orang mau naik haji
harus berbulan-bulan berada di kapal laut untuk sampai ke tanah suci. Sekarang,
dalam waktu 9 jam jamaah haji dan umroh dari tanah air sudah sampai di Mekkah
ataupun Madinah. Dulu nenek moyang kita masak menggunakan kayu bakar, orang tua
kita beralih menggunakan kompor minyak, sekarang masyarakat menggunakan kompor
gas. Semua berubah dan bergeser, di generasi digital ini, atau yang disebut
juga generasi milenia, pergeseran seperti itu akan semakin cepat. Siapa yang
tak sanggup mengikutinya akan segera ditinggal, suka ataupun tidak.
Itulah
mengapa pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak lagi dibutuhkan di era digital ini.
Sebutlah pekerjaan penjaga karcis tol yang marak pemberitaan di berbagai media,
atau pekerjaan seperti penjaga toko pakaian (termasuk sepatu, tas, dan mainan)
sudah tergantikan dengan pengelola online shop beserta para web desain dan
developernya. Mereka bisa menjual barang lebih murah, karena memutus rantai
distribusi, biasanya produk seperti pakaian (setelah dari pabrik) harus
melewati beberapa rantai distribusi mulai dari agen besar, agen kecil lalu sub
distributor, pasar dan seterusnya. Masing-masing rantai distribusi itu tentu
mendapatkan margin. Namun kini, itu semua tergantikan dengan market place yang
dibangun para cyber.
Masyarakat
cukup mengklik barang yang diinginkan lewat smartphonenya, lalu barang itu
datang hingga ke rumah, cukup bayar ditempat. Barang lebih murah karena
langsung dari pabrik, tak perlu ongkos transport untuk memilih warna kesukaan,
barang langsung diantar sampai ke tempat yang diinginkan. Generasi milenia,
yang lahir di era digital ini, tentu paham betul akan perubahan pola hidup
masyarakat ini.
Jamaah
Sidang Jumat yang berbahagia
Lalu
apa hubungannya dengan umat Islam? Mengapa fenomena seperti ini harus mendapat
perhatian dari para ustadz, khatib-khatib Jumat, dan para penceramah?
Jawabannya sederhana, agar umat Islam tidak hanya menjadi penonton dalam
perubahan peradaban ini. Agar umat Islam tak hanya jadi obyek pasar yang
diperebutkan oleh kaum-kaum lainnya. Agar umat Islam masuk dalam gelanggang dan
mengambil peran di era digital ini.
Ini
dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 190, “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang yang berakal.” (QS. Ali Imron : 190).
Kalau
pergantian malam dan siang saja, harus menjadi perhatian bagi umat Islam, apa
lagi pergantian peradaban manusia yang akan segera terjadi ini. Bahkan Allah
SWT menyebutkan langsung bahwa orang-orang itulah sebagai Ulil Albab
(orang-orang yang berakal), yang dijelaskan pada ayat selanjutnya, yaitu
orang-orang mengingat Allah SWT tatkala berdiri, duduk dan dalam keadaan
berbaring dan mereka berfikir tentang langit dan bumi seraya berkata Ya Tuhan
kami, Tiada Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.
Ulil
Albab yang disebut dalam ayat ini bermakna sebagai orang-orang penuh inovasi.
Berdiri, duduk dan berbaringnya ia akan melahirkan kreasi. Atau dengan kata
lain, setiap saat Ulil Albab itu akan berfikir tentang segala sesuatu yang ada
dimuka bumi ini, bahkan dilangit angkasa. Itulah mengapa manusia di era digital
ini bukan hanya dituntut berinovasi dalam satu dua waktu, tapi setiap saat
dikala duduk, berdiri, bahkan berbaringnya. Terlambat berinovasi di peradaban
digital, maka akan ketinggalan kereta. Rugi, bangkrut, akhirnya hanya jadi
penonton.
Barokallahu
Lii Walakum
Adhi
Azfar, ST, ME
Ketua
Umum YMI
0 Response to "Era Digital, Generasi Milenia dan Ulil Albab"
Post a Comment