Serial Khutbah Jumat Ketua Umum YMI
Adhi Azfar
Rangkuman Khutbah, Jumat, 21
Oktober 2016
Ba’da
Tahmid dan Shalawat
Salah
satu fitrah manusia adalah menginginkan kebahagiaan. Bila kita bertanya kepada
-sebutlah misalnya- seorang teman, sahabat atau kerabat keluarga, “Apakah kamu
mau menjadi orang yang berbahagia?” Pasti semua orang akan menjawab “Iya”
(karena memang itulah fitrah manusia). Bila ditanya “Mau masuk syurga apa neraka?”
Tentu semua orang (yang normal jiwa dan akalnya) akan menjawab “Syurga.” Ini karena
memang fitrah manusia itu di syurga. Nabiyullah Adam a.s beserta istrinya Hawa
adalah penghuni syurga, sebelum diturunkan Allah SWT ke dunia.
Itulah
fitrah manusia. Ingin bahagia, ingin syurga. Bahkan orang preman sekalipun,
yang gemar mabuk-mabukan, berjudi dan berbuat maksiat, bila kita tanya kepada
mereka, tentu jawabannya juga adalah memilih masuk syurga. Sehingga ada anekdot
yang mungkin pernah kita dengar, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk
syurga.” Kenapa di syurga, karena di syurga itulah puncak kebahagiaan manusia.
Hal
ini berbeda kalau kita bertanya tentang pertanyaan lain, misalnya “Apakah anda
ingin jadi orang kaya” Boleh jadi tidak
semua orang punya keinginan sama. Ada yang lebih menginginkan hidup sederhana.
Atau keinginan untuk memilih istri, ada yang milih yang cantik, tapi ada juga
yang sedang-sedang saja (yang penting setia). Silahkan di survey, bisa
dipastikan tidak 100% yang punya keinginan sama. Ini berbeda dengan keinginan
untuk bahagia. Kenapa demikian, karena kekayaan, istri yang cantik, banyak
harta, bukan satu-satunya indikator kebahagiaan.
Kalau
begitu apa yang menjadi indikator utama untuk bahagia? Kebahagiaan akan hadir
dalam kehidupan kita, bila kita punya visi yang (seringkali kita dengar), yaitu
visi keberkahan. Cara pandang bahwa aktifitas yang kita lakukan adalah untuk
mencari keberkahan dari Allah SWT.
Jamaah
Sidang Jumat yang Berbahagia
Kita
tidak sedang menghadang orang-orang yang bercita-cita menjadi kaya. Sebab,
menjadi orang kaya tidaklah salah. Boleh, bahkan perlu. Silahkan saja.
Bercita-cita menjadi kaya juga bukanlah cita-cita yang keliru. Para sahabat
Rasulullah SAW pun banyak yang memiliki kekayaan berlimpah. Sebutlah Utsman bin
Affan atau Abdurrahman bin Auf. Namun jangan salah, kekayaan tidak menjadikan
mereka lupa akan bersyukur, beribadah, dan berbagi dengan yang tak punya.
Kekayaan justru makin mendekatkan mereka kepada Allah SWT.
Yang
penting harus kita ingat adalah kekayaan duniawi seperti ini bukanlah faktor
penentu bagi kebahagiaan hidup. Tentunya sudah banyak pelajaran berharga yang
kita peroleh dari kehidupan teman-teman kita, orang-orang disekeliling kita,
atau informasi dari televisi dan media masa. Disana kita menemukan kenyataan
justru orang-orang kaya yang mengalami kesempitan hidup, ketidaknyamanan,
perselisihan, pengkhianatan, dan lain sebagainya.
Betapa
sempurna kekayaan seorang Marylin Monroe, bintang film terkenal tahun 1970-an.
Namun ia jutsru tewas setelah overdosis menenggak obat tidur. Atau Kurt Cobain,
vokalis grup terkenal Nirvana, yang bunuh diri dengan menembak kepalanya
sendiri. Meski punya harta yang seakan tak terbatas, dan popularitas yang
menjulang, namun keberkahan justru tak kunjung datang.
Banyak
orang kaya yang memiliki putera-puteri yang menggerogoti kekayaan orang tuanya
sendiri lewat penggunaan narkoba dan ganja. Ada pengusaha yang menatap semua
orang yang datang kerumahnya dengan tatapan curiga, khawatir akan ditipu,
dirampok dan dirampas, layaknya Fir'aun curiga pada setiap pemuda yang bakal
menjungkalkan kekuasaannya. Juga ada sahabat yang berganti mobil mewah setiap
bulan, namun harus minum pil tidur kalau ingin tidur nyenyak. Hidupnya kering
tak bermakna.
Itulah kenyataan yang membuktikan bahwa kekayaan tidaklah cukup untuk menjadi ukuran kebahagiaan seseorang. Tak ada jaminan orang yang kaya itu hidupnya akan bahagia, sebagaimana tak ada jaminan bila orang yang memilih hidup sederhana itu akan sengsara. Namun, bila boleh memilih, tentunya boleh bagi kita untuk memilih menjadi orang kaya, namun orang kaya yang berkah, sebab disana ada kebahagiaan hidup yang sempurna.
Keberkahan.
Inilah ukuran yang harus melekat dalam hati kita untuk menentukan langkah,
mengawali setiap perbuatan dan membuat kebijakan. Karena keberkahan
menghadirkan segala kebaikan, menghapus segala kegelisahan, menghilangkan
keputus asaan, menambah optimisme, dan memperkuat daya tahan hidup, sesulit
apapun hidup dizaman sulit seperti sekarang ini. Keberkahan jugalah, yang
membuat sesuatu yang sedikit akan terasa cukup, dan sesuatu yang banyak tidak
menyulitkan.
Jamaah
Sidang Jumat yang Berbahagia
Dalam
kamus bahasa Arab, definisi berkah diambil dari kata “Albarkatu” yang diartikan
“An-ni’mah” (kenikmatan), “Assa’adah” (kebahagiaan) dan “Annamaau Azziyadatu”
(penambahan). Dengan kata lain, berkah adalah suatu kenikmatan atau suatu
kebahagiaan atau sebuah penambahan.
Atau
secara istilah, berkah adalah berlakunya suatu kebaikan pada sesusatu yang
bersifat Ilahiyah. Dalam arti lain, kebaikan yang bersumber dari Allah SWT yang
ada pada sesuatu. Oleh karena itulah, kata Al-barakah memiliki makna dan
pemahaman yang sangat luas. Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Asal makna
keberkahan, adalah kebaikan yang banyak dan abadi.”
Barokah
bukan hanya cukup mencukupi, tapi barokah itu adalah bertambahnya ketaatan
kepada Allah SWT dengan segala keadaan yang ada, baik berlimpah maupun tidak.
Barokah itu “Albarokatu Tuziidukum Fi Thoah” (Bertambahnya ketaatanmu kepada
Allah).
Hidup
barokah bukan hanya sehat, kalau hidup barokah hanya diartikan sehat, bagaimana dengan Nabi Ayyub a.s yang
sepanjang hidupnya didera penyakit. Tentu kita tidak dapat mengatakan kehidupan
Nabi Ayyub a.s tidak berkah. Hidup barokah bukan hanya panjang umur, karena
Mush’ab bin umair umurnya pendek, namun perjuangannya telah menggoreskan tinta emas
dalam sejarah Islam. Hasan Al-Banna umurnya hanya 49 tahun, tapi karya dan
manfaat hidupnya bisa dirasakan manusia sepanjang zaman. Tanah yang barokah itu
bukan hanya subur dan banyak kekayaan alamnya, karena Allah SWT menyebut Mekkah
adalah tanah yang barokah, meski tandus dan kering.
Mari
kita hadirkan semangat untuk meraih barokah dalam setiap aktifitas keseharian
kita.
Barokallahuli
Walakum
0 Response to "Hadirkan Barokah dalam Aktifitas Keseharian Kita"
Post a comment