Serial
Khutbah Jumat Ketua Umum YMI Adhi Azfar
Jumat,
9 September 2016
Ba’da
Tahmid dan Shalawat
Hari-hari
disekitar hari ini, kita menghadapi hari raya terbesar Umat Islam, yaitu hari
raya Idul Adha, atau disebut juga hari raya Qurban. Hari raya ini disebut lebih
besar daripada hari raya Idul Fitri karena Idul Adha diselenggarakan selama 4
hari, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, sementara Idul Fitri hanya 1
hari yaitu tanggal 1 Syawal.
Saat
ini kita berada pada tanggal 7 Dzulhijjah 1437 H. Ini artinya kita masih berada
pada 10 hari Ayyamul Asyr, yaitu 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Keistimewaan
10 hari pertama di bulan Dzulhijjah ini, ditandai dengan adanya sumpah Allah
SWT dalam Al-Qur’an, “Wal Fajr, Walayalin Asyr.” (AL-Fajr:1-2). Artinya, "Demi
Waktu Fajar, dan Demi Hari yang Sepuluh." Bila Allah SWT bersumpah dalam Al-Qur’an,
tentu ini bukan perkara sembarangan.
Memang,
kalimat “Demi Hari yang Sepuluh” itu, ada beberapa pendapat ulama tafsir yang
berbeda. Seperti Yaman bin Rabab yang mengatakan Layalin Asyr merujuk pada 10
hari pertama di bulan Muharam, karena disana ada hari Asyuro. Atau Ulama Tafsir
Abu Rouq yang menafsirkan Layalin Asyr sebagai 10 hari terakhir di bulan
Ramadhan, karena disitu ada Lailatul Qadar. Namun mayoritas ulama tafsir
(seperti Qatadah, Al-Kalbi, Addahak dan lainnya) sependapat bahwa yang dimaksud
Layalin Asyr adalah 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah, karena disana ada
induk segala ibadah. Mulai dari shalat, shaum (khususnya shaum Arafah) hingga
Haji dan Qurban.
Hal
ini juga dipertegas oleh hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah, bahwa “Sebaik-baik hari adalah Hari Asyr, yaitu 10 hari pertama di
bulan Dzulhijjah.” Karena itu, hadirnya
kita di hari Asyr ini, patut kita syukuri dan kita optimalkan dengan
meningkatkan ibadah dan beramal sholeh. Lebih khusus lagi, dalam 2 hari
kedepan, yaitu pada hari Ahad kita upayakan agar bisa melaksanakan shaum Arafah,
dimana hari Ahad, 9 Dzulhijjah, jamaah Haji akan melaksanakan wukuf di Arafah,
kita yang berada di tanah air disunnahkan untuk berpuasa.
Keistimewaan
hari Asyr ini, tidak terlepas dari adanya ibadah Haji dan Qurban di penghujung
hari Asyr, dimana ibadah Haji dan Qurban ini memiliki karakter berbeda
dibanding ibadah lainnya seperti shalat dan puasa. Khususnya bila diukur dari
tingkat fleksibilitasnya. Mari kita lihat. Kalau ibadah shalat, ketika kita
sakit, maka boleh shalat dengan duduk, tak bisa duduk boleh shalat sambil tidur.
Tak sanggup menggerakan tangan sambil tidur, boleh shalat hanya dengan
menggerakan mata saja.
Hal
ini berbeda dengan Qurban, dimana bila tak sanggup berqurban dengan kambing,
tak boleh diganti dengan ayam, bebek ataupun yang lainnya. Hanya boleh Sapi,
Unta, atau Domba. Haji pun demikian, bila tak sanggup pergi haji ke Baitullah
(Saudi Arabia), tak boleh haji ke India (karena biaya yang lebih murah), atau
ke Malaysia, dan lain sebagainya.
Ibadah
Puasa juga demikian, dimna puasa memiliki karakter dan fleksibilitas berbeda
dengan ibadah Haji dan Qurban. Kalau tak sanggup puasa Ramadhan (karena sakit),
boleh diganti di hari lain, dengan tata cara yang sama (waktu sahur sebelum
azan subuh, dan berbuka di saat maghrib). Namun tidak demikian dengan Qurban,
bila tak sanggup qurban di tanggal 10,11,12,13 Dzulhijjah, tak bisa diganti ke
hari lain. Mungkin karena hewan qurban saat hari raya harganya tinggi, sehingga
tak sanggup membelinya, kemudian berencana berqurban ke hari lain. Tentu ini
tidak bisa. Ibadah Haji pun demikian, yang hanya bisa dilakukan saat bulan haji
saja, tidak bisa diganti ke hari atau bulan lain. Kalau di hari atau bulan lain
namanya adalah ibadah umroh.
Jamaah
Sidang Jumat yang Berbahagia
Setidaknya
ada 3 makna yang bisa kita dapatkan dengan beribadah qurban. Pertama
adalah, sebagai wujud syukur kita atas nikmat Allah SWT. “Inna A’thoina Kal Kautsar,
Fasholli li Robbika Wanhar.” (Al-Kautsar : 1-2). “Sesungguhnya telah Kuberikan
nikmat yang banyak, maka shalatlah kepada Rabb-mu dan berqurbanlah.” Hal ini bermakna bahwa qurban adalah wujud
syukur, barang siapa bersyukur maka Allah SWT akan tambahkan nikmat kepadanya.
Maka kita tak pernah menemukan cerita para pequrban jatuh miskin karena terlalu
sering berqurban. Justru Allah SWT tambah nikmat-Nya karena dia berqurban
sebagai wujud syukurnya.
Surat
Al-Kautsar ini juga menunjukan begitu pentingnya qurban, sehingga Allah SWT
menggandengkan kata “shalat” dengan “qurban.” Sebagaimana dalam ayat yang lain,
Allah SWT juga menggandengkan kata “Shalat” dengan “qurban,” “Katakanlah
sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah SWT.”
(Al-An’am : 162-163). Kata “sembelihanku” merujuk pada ibadah qurban.
Kedua,
berqurban akan menghilangkan sifat-sifat kebinatangan manusia. Bahwa sering
kita dengar, sifat-sifat binatang dilekatkan kepada manusia-manusia yang punya
perilaku buruk. Contohnya:
#
Orang yang suka menggoda perempuan, disebut “Buaya Darat.”
#
Orang yang suka merampok dan mencuri, disebut “Kucing Garong.”
#
Orang yang suka menyalahkan orang lain, disebut selalu mencari “Kambing Hitam.”
#
Orang yang menzholimi orang lain dengan perilakunya sebagai rentenir, disebut “Lintah
Darat.”
Bila
kita lihat dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga menganalogikan orang-orang yang
buruk sifat dan perilakunya sebagai binatang ternak. Sebagaimana dalam surat
Al-A’raf ayat 179, bahwa mereka punya hati tapi tak digunakan sebagaimana
mestinya, mereka punya mata tapi tak digunakan untuk melihat kebaikan, dan
mereka punya telinga tapi tak digunakan untuk mendengar kebaikan, dan mereka
itu seperti binatang ternak bahkan lebih buruk lagi. Maka dari itu, berqurban
akan melenyapkan semua sifat-sifat kebinatangan itu, dengan syarat pequrban
ikhlas semata-mata karena Allah SWT.
Ketiga,
dengan berqurban akan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana
asal kata qurban itu sendiri yaitu “Qaraba, Yaqrabu, Qurban Wa Qurbanan Wa
Qirbanun,” yang artinya adalah dekat, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kisah Habil dan Qabil adalah contohnya. Bagaimana orang yang berqurban dengan
ikhlas dan memberikan yang terbaik seperti diperankan Habil, maka Habil
langsung didekatkan dan dipertemukan dengan Allah SWT, karena ketaqwaannya.
Sebaliknya, Qabil justru semakin jauh dari Rabb-nya. “Daging-daging dan darah
itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhoan Allah, tetapi ketaqwaan kitalah
yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj:37).
Barokallahu
lii Walakum Fil Qur’anil Adzhim
0 Response to "Keistimewaan Dzulhijjah dan Makna Qurban"
Post a Comment