Di
sebuah kelas, saya menggambar di papan tulis “Sebatang pohon kelapa di tepi
pantai,” lalu menggambar “Sebutir kelapa yang jatuh dari tangkainya.”
Dari
gambar tersebut, saya meminta 4 anak murid saya untuk mengamati fenomena jatuhnya
buah kelapa itu, dan ceritakan berdasarkan persepsi masing-masing.
Lalu
anak ke 1 maju dan bercerita. Dia mengambil secarik kertas, membuat bidang segi
tiga, menentukan sudut, mengasumsikan berat kelapa, dan dengan rumus
matematikanya anak ini menjelaskan hasil perhitungan ketinggian pohon kelapa,
dan energi potensial yang dihasilkan dari kelapa yang jatuh lengkap dengan
persamaan matematis dan fisika. “Dapat hasilnya Pak Guru,” jelas si anak. Lalu
saya bertanya kepada seluruh anak-anak murid, “Apakah anak ini cerdas?” Lalu
dijawab serentak sekelas, “Iya... dia anak yang cerdas sekali.”
Kemudian
maju anak ke 2. Dia pun dengan gesit mengilustrasikan bahwa dia akan memungut
kelapa yang jatuh dan bergegas membawanya ke pasar, lalu menawarkan ke pedagang
dan dia bersorak, “Yesss... laku Rp 8.000.” Kembali saya bertanya ke seluruh
anak-anak dikelas, “Apakah anak ini cerdas?” Anak-anak sepakat juga menjawab, “Iyaa...
dia anak yang cerdas.”
Lanjut
ke anak ke 3. Dia mengilustrasikan bahwa dia akan ambil kelapanya kemudian dia
bawa keliling sambil menanyakan, pohon kelapa itu milik siapa? Ini kelapanya
jatuh mau saya kembalikan kepada yang punya pohon. Kemudian saya bertanya
kepada anak-anak, “Apakah anak ini cerdas?” Seluruh kelas pun menjawab, “Iya..
dia anak yang cerdas.”
Terakhir,
anak ke 4 juga mengilustrasikan dengan cekatan. Bahwa dia mengambil kelapanya
kemudian dia melihat ada seorang kakek yang tengah kepanasan dan berteduh
dipinggir jalan. "Kek, ini ada kelapa jatuh, tadi saya menemukannya, kakek
boleh meminum dan memakan buah kelapanya." Lalu saya bertanya, “Apakah
anak ini, anak yang cerdas?” Anak-anak menjawab, “Iyaa, dia anak yang cerdas.”
Semua
anak murid menyakini bahwa keempat anak diatas adalah anak yang cerdas. Mereka
jujur mengakui bahwa setiap anak memiliki keunikan cerdasnya. Dan mereka ingin
dihargai keunikannya itu.
Hanya
saja, yang sering terjadi seringkali sebaliknya. Para orang tua dan pendidik,
menilai kecerdasan anak hanya dari satu sisi, yakni kecerdasan akademik,
sebagaimana yang dimiliki anak ke 1. Lebih parah lagi, Negara pun juga menganggap
kecerdasan akademik saja sebagai tolok ukur kecerdasan anak, yang ditentukan
berdasarkan nilai saat mengerjakan UN. Sedangkan kecerdasan finansial (anak no
2), kecerdasan karakter (anak no 3) dan kecerdasan sosial (anak no 4) belum ada
ruang yang diberikan negara untuk mengakui kecerdasan mereka. Padahal mereka juga
adalah anak kandung negara yang perlu diberi ruang untuk diakui.
Coba
kita ingat, dulu sering kita menjadikan olok-olokan ketika sekolah di tingkat
SMU, antara anak IPA dan anak IPS, siapa yang sebenarnya cerdas? Kalau lihat
dari cerita diatas, apakah kita akan juga akan mengatakan sebagaimana murid-murid
di kelas tersebut? Bahwa “Iya, semua anak yang cerdas.”
Kita
perlu mendorong keyakinan para orang tua bahwa semua anak cerdas dengan
keunikan dan kecerdasannya masing-masing. Hargai kecerdasan anak kita
masing-masing.
Bersama
YMI
Menyekolahkan
Anak Yatim Di Pelosok Desa
Ayo
Jadi Orang Tua Asuh…. CP : 0838.0453.7995
0 Response to "Benarkah Anak IPA Lebih Cerdas Dibanding Anak IPS?"
Post a Comment