Kejujuran.
Ini barang langka di zaman sekarang. Banyak orang yang seringkali
mengejar kekayaan materi dengan mengorbankan kejujuran. Padahal hidupnya
sudah cukup. Rumah, mobil dan berbagai kebutuhan sehari-hari sudah
terpenuhi. Namun memang itu semua tidak cukup untuk gaya hidup. Gengsi
dan ingin tampil trendy, menjadikannya lupa akan batas-batas kejujuran.
Akhirnya, dengan dalih "daripada diambil orang lain," atau dalih "nanti
juga kita sedekahkan lagi sebagian," atau dalih-dalih lain, lalu
kaidah-kaidah kejujuran dikesampingkan, dibiaskan, dicampuradukan.
Kisah
seorang wanita yang hidup di Zaman Iman Ahmad berikut ini dapat menjadi
pelajaran buat kita betapa kaidah-kaidah kejujuran tidak boleh
dibiaskan dengan berbagai dalih-dalih pembenaran.
Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dikunjungi seorang wanita yang ingin mengadu.
“Ustadz,
saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati
suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya,
saya merajut benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan
untuk mengurus anak-anak saya dan menyambi sebagai buruh kasar di sela
waktu yang ada.
Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan.”
Imam Ahmad rahimahullah menyimak dengan serius penuturan ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan.
Dia
adalah seorang ulama besar yang kaya raya dan dermawan. Sebenarnya
hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada wanita itu, namun ia
urungkan dahulu karena wanita itu melanjutkan pengaduannya.
“Pada
suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya.
Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya
terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang
dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu.
Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?
Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?
Sebab,
saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya
dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang
rakyat.”
Imam
Ahmad rahimahullah terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia
begitu jujur, di tengah masyarakat yang bobrok akhlaknya dan hanya
memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi.
Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.
Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad rahimahullah bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”
Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”
Imam
Ahmad rahimahullah makin terkejut. Basyar Al-Hafi rahimahullah adalah
Gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa
hidupnya. Rupanya, jabatannya yang tinggi tidak disalahgunakannya untuk
kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun
hidup dalam keadaan miskin.
Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Pada
masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai
cara, bahkan dengan menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani
rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti
engkau, ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela
jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis sorban yang
kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.
Subhanallah,
sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal
bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak
merugikan keuangan negara…”
Kemudian
Imam Ahmad rahimahullah melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi
penghormatan untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan
sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada wanita semulia
engkau…”.
Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ
“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.”
(Shahih
Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab
Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib
2/150)
0 Response to "Lihat Kejujurannya, Masih Adakah Wanita Seperti Ini..."
Post a Comment