Secara historis, desa
adalah cikal bakal terbentuknya masyarakat sebagai miniatur politik dan
pemerintahan dalam sebuah Negara, jauh sebelum Negara dan Bangsa terbentuk.
Struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi
sosial yag mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang
otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri, sehingga dapat
dikatakan struktur desa relatif mandiri. Hal ini ditunjukan dengan tingkat
keberagaman yang tinggi disetiap desa.
Pada masa orde baru, UU
no.5/1979 tentang Pemerintahan Desa, pemerintah pusat telah melakukan
penyeragaman struktur pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia. Sejak
tahun 1998, atau pada era reformasi, melalui UU no.32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Negara menegaskan bahwa desa atau sebutan lainnya didefinisikan sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini artinya, sejak era
reformasi, berlaku sistem otonomi daerah, dimana desa lebih memiliki posisi dan
peran yang lebih strategis, UU no.32/2004 telah mendudukan desa sebagai daerah
otonom dibanding dengan produk perundang-undangan sebelumnya. Namun demikian,
dalam pelaksanaannya pengaturan dalam UU no.32/2004 tersebut belum dapat
mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa yang pada tahun 2012
sudah berjumlah 79.702 desa (data BPS 2013).
Pengaturan desa dalam
UU tersebut tidak sesuai dengan dinamika politik dan aspirasi masyarakat,
khususnya terkait kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi lokal,
keberagaman, partisipasi masyarakat serta pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antar wilayah, bertambahnya angka
kemiskinan dan masalah sosial budaya yang merugikan masyarakat desa.
Dalam membangun desa,
permasalahan utama yang seringkali berhubungan adalah partisipasi
ketenagakerjaan (employment gap), akses dan kesempatan terhadap faktor produksi
(homogenity gap), serta informasi yang berkaitan dengan pasar (information
gap). Hal ini menjadi penyebab merosotnya kelembagaan lokal masyarakat (social
capital) pedesaan (Nugroho, 2012).
Beberapa poin penting
dalam pembangunan desa diantaranya, pertama, SDM kepala desa dan
aparatur desa masih sangat lemah. Dengan hanya berpendidikan SLTP bagi kepada
desa dan SLTA bagi aparatur desa, maka akan sangat sulit melakukan pengelolaan
administrasi pemerintahan desa yang transparan dan akuntabel.
Kedua, pola
kontrol dan pemberdayaan masyarakat desa, dimana masyarakat desa cenderung
masih homogen sehingga budaya ewuh pakewuh cenderung lebih dominan dibanding
saling memberikan perbaikan dalam bentuk kontrol pada anggaran dan kinerja desa. Kondisi ini
menyebabkan desa lebih rentan terhadap masuknya pengaruh asing dengan
liberalisasi ekonomi, budaya barat, arus teknologi sehingga dapat
meluluhlantakan nilai lokal.
Ketiga, perebutan kewenangan koordinasi pemerintahan desa antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Hal ini menyebabkan pemerintahan kabupaten/kota selaku ibu kandung dari desa harus melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada Kementerian-kementerian tersebut, birokrasi menjadi lebih rumit, apalagi ditambah dengan regulasi masing-masing Kementerian yang seringkali tumpang tindih. #
0 Response to "Membangun Indonesia Dari Pelosok Desa"
Post a Comment