Pertumbuhan
peluang usaha yang sangat besar belakangan ini tidak diiringi oleh pertumbuhan
jumlah wirausaha. Menurut ketua Asosiasi Franchise Indonesia, Anang Sukandar,
dalam setahun peluang bisnis baru tumbuh 10%, tetapi yang bertahan dan menjadi
waralaba atau memiliki cabang hanya 2%, sedangkan sisanya hilang. Padahal,
menurut Kementerian Koperasi dan UKM, minat masyarakat Indonesia terhadap
wirausaha berdasarkan tingkat pendidikan sebesar total 61,23% yang terdiri dari
Perguruan Tinggi sebesar 6,14%, SLTA sebesar 22,63%, dan SLTP ke bawah sebesar
32,46%.
Pemerintah
memberikan perhatian terhadap wirausaha yang tertuang dalam Perpres No. 2/2015
tentang RPJMN 2015-2019 Bidang UMKM dan Koperasi. Dalam Perpres tersebut
pemerintah membuat target dalam 5 tahun, yaitu pertumbuhan jumlah wirausaha
baru sebesar 1 juta unit. Bahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun
2016, pemerintah membuat arah kebjakan untuk meningkatkan daya saing UMKM dan
Koperasi melalui peningkatan kapasitas UMKM dan Koperasi dalam rangka
menyediakan produk barang dan jasa dengan ragam, jumlah, dan kualitas yang
memadai di pasar dalam negeri, serta meningkatkan adaptasi pasar dan
partisipasi di pasar ekspor. Untuk mendukung terealisasinya Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2016 tersebut, pemerintah membuat amanat perbaikan tata kelola
program dan kegiatan 2015-2019 dalam rangka pendanaan UMKM dengan melakukan
sinergi dan kerjasama antar kementerian.
Beberapa permasalahan yang membuat
wirausaha tidak dapat tumbuh sesuai dengan target pemerintah, diantaranya
adalah:
1. Rendahnya
kualitas sumber daya manusia
Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki wirausaha
saat ini masih belum maksimal. Dari 3.707.205 orang wirausaha, sebagian
besarnya berada pada tingkat pendidikan SD. Berdasarkan data Kementerian
Koperasi dan UKM, setidaknya terdapat 47,9% wirausaha lulusan SD, 2,8% Diploma,
dan 6,06% Sarjana. Selain tingkat pendidikan yang masih rendah, wirausaha yang
ada saat ini masih belum memiliki mental usaha yang kuat. Berdasarkan Tahap
Perkembangan Usaha yang dibuat oleh Kementerian Koperasi dan UKM, untuk
menjalankan usaha sampai pada tingkat Tumbuh (growth) harus memiliki usaha minimal sampai dengan usia 5 tahun.
Namun pada kenyataannya, banyak wirausaha yang tidak sabar dalam menjalankan
usahanya, dan ingin usahanya tumbuh kurang dari 5 tahun. Akhibatnya, banyak
wirausaha yang mengembangkan usahanya dengan membuat franchise atau membuka cabang di usia kurang dari 5 tahun,
dampaknya usaha tersebut tidak bertahan lama, dan akhirnya hilang.
2. Rendahnya
akses terhadap sumber daya produktif
Salah satu sumber daya produktif yang masih minim diakses
oleh wirausaha adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hingga bulan Oktober 2015, KUR
baru dimanfaatkan sebesar 30% dari target sebesar 19-20 Triliun penyalurannya
di akhir tahun 2015. Rendahnya akses KUR ini salah satunya disebabkan oleh
kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, sehingga masih banyak wirausaha
yang belum mendapatkan informasi mengenai kebijakan baru yang memudahkan wirausaha
dalam mengakses KUR. Selain KUR, yang terkait dengan permodalan, rendahnya
akses terhadap sumber daya produktif juga disebabkan oleh faktor bahan baku,
informasi, dan teknologi. Dampak dari rendahnya akses terhadap sumber daya
produktif bagi wirausaha adalah rendahnya tingkat produktifitas yang dimiliki.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah
produktifitas wirausaha di Indonesia hanya berada pada posisi 4,3% menurut
Asian Productivity Organization (APO).
3. Tingginya
biaya transaksi/usaha
Permasalahan yang sering dikeluhkan oleh wirausaha adalah
beban biaya yang harus mereka tanggung untuk menjalankan usahanya. Untuk
mendapatkan KUR saja setiap wirausaha harus menanggung beban bunga KUR sebesar
12%, padahal di Malaysia dan Filipina hanya memiliki bunga KUR yang kecil yaitu
sebesar 3,8 %, sedangkan di Thailand hanya sebesar 2,5%. Selain itu, pelaku
usaha juga sudah harus menanggung beban membayar pajak penghasilan (PPh)
sebesar 1% dari omzet yang
tidak melebihi Rp. 4,8 miliar seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No
46 tahun 2013 tentang Pajak. Di samping beban membayar PPh dan bunga KUR,
wirausaha juga dihadapi oleh adanya pungutan liar di sana-sini, tingginya biaya
perizinan, dan masih minimnya ketersediaan infrastruktur yang menyebabkan
tingginya biaya usaha yang harus ditanggung oleh setiap wirausaha. Dengan
tingginya biaya usaha yang harus ditanggung oleh wirausaha, menyebabkan tidak
bertumbuhnya usaha yang dijalankan karena harus menutup beban biaya yang
ditanggung.
4. Desentralisasi
tupoksi kementerian terhadap UMKM
Dalam Perpres No. 2/2015 tentang RPJMN 2015-2019 Bidang UMKM
dan Koperasi pemerintah membuat rencana untuk mengembangkan wirausaha di
Indonesia. Dalam Perpres tersebut terdapat Amanat Perbaikan Tata Kelola Program
dan Kegiatan 2015-2019 yang mengatur kerangka pendanaan dengan mensinergikan
kerjasama antar Kementerian. Dalam amanat tersebut, terdapat kerjasama
kementerian dan lembaga yang dibagi dalam kementerian utama dan kementerian
pendukung. Kementerian utama selaku pembina pelaku usaha terdiri dari
Kementerian Koperasi dan UKM, Kemenerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Hutan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Tenaga Kerja,
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Badan
Ekonomi Kreatif. Sedangkan kementerian pendukung selaku pembina dari sistem
pendukung terdiri dari Kementerian Riset Teknologi dan Dikti, Kementerian
Komunikasi dan Informasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Badan
Koordinasi Penanaman Modal, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Sertifikasi
Nasional, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat
Statistik, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, dll. Dengan banyaknya
Kementerian dan Lembaga yang memiliki tupoksi terkait dengan wirausaha dapat
menyebabkan saling lempar tanggung jawab, anggaran yang membengkak, dan proses
birokrasi yang terlalu rumit, sehingga dapat menyebabkan terhambatnya proses
pertumbuhan wirausaha di Indonesia.
5. Rendahnya
daya saing
Sebagai akibat dari permasalahan di atas adalah rendahnya
daya saing yang dimiliki oleh wirausaha Indonesia. Kementerian Koperasi dan UKM
melaporkan, daya saing UMKM Indonesia berada di posisi 50 dari 144 negara. Padahal
potensi yang dimiliki oleh Indonesia untuk berwirausaha begitu besar, menurut survei yang dilakukan oleh BBC World
Service pada bulan Mei 2011 Indonesia merupakan tempat yang paling baik untuk
memulai usaha dibandingkan dengan 24 negara lain yang disurvei. #
0 Response to "Menumbuhkan Usaha Rakyat, Peluang dan Permasalahan"
Post a Comment