Untuk mengukur kemiskinan,
pendekatan yang paling sering digunakan adalah besaran pengeluaran (expenditure
approach) atau tingkat pendapatan (income approach). Kategori miskin versi BPS
(Badan Pusat Statistik) adalah mengukur tingkat kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan pengeluaran konsumsi penduduk per kapita per hari sebagai patokan
garis kemiskinan. Seseorang akan dianggap miskin bila pengeluaran konsumsinya
kurang dari kecukupan kebutuhan kalori per hari yaitu 2100 kkal/kapita/hari.
Dengan patokan ini (ditambah dengan kebutuhan dasar non makanan) maka didapat
garis kemiskinan di angka Rp.259.520/kapita/bulan, atau sekitar US$
1/kapita/hari.
Namun ukuran ini berbeda dengan
perhitungan World Bank, yang menggunakan pendekatan pendapatan (income
approach) dengan 2 batasan pendapatan :
1. Kemiskinan Absolut : US$ 1,25/kapita/hari (sekitar Rp.12.500/kapita/hari).
2. Kemiskinan Moderat : US$ 2/kapita/hari (sekitar Rp.20.000/kapita/hari).
1. Kemiskinan Absolut : US$ 1,25/kapita/hari (sekitar Rp.12.500/kapita/hari).
2. Kemiskinan Moderat : US$ 2/kapita/hari (sekitar Rp.20.000/kapita/hari).
Perbedaan pengukuran kemiskinan
versi World Bank vs BPS, dan versi Expenditure vs Income, bukan menjadi
satu-satunya kerancuan dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia. Satu hal yang
lebih menyedihkan adalah kerancuan dalam penetapan dan penyaluran jumlah
sasaran dalam program-program bantuan pemerintah bagi kaum miskin seperti BLT
(Bantuan Langsung Tunai) akibat kenaikan harga BBM Bersubsidi, program Raskin
(Beras Miskin), PKH (Program Keluarga Harapan), Jamkesmas (Jaminan Kesehatan
Masyarakat) dan lain sebagainya.
Dalam program BLT tahun 2008 misalnya,
pemerintah menyalurkan dana kompensasi kenaikan harga BBM, kepada 76,4 juta
jiwa (atau 19,1 juta jiwa rumah sasaran). Kalau dibandingkan dengan jumlah
orang miskin yang ada di Indonesia, menurut versi BPS ada sebanyak 34,9 juta
jiwa, sedangkan versi World Bank adalah 53,19 juta jiwa (20,4 %) untuk
kemiskinan absolut dan 127,8 juta jiwa (52,7%) untuk kemiskinan moderat.
Berarti pemeritah menggunakan data yang mana untuk menyalurkan dana BLT
tersebut, dimana kalau menggunakan data versi BPS, ada kelebihan sekitar 41
juta jiwa yang menerima dana BLT, tapi kalau menggunakan versi World Bank
kemiskinan moderat, ada sekitar 51 juta orang miskin yang tidak mendapatkan
dana BLT, padahal mereka terkena imbas kenaikan harga BBM.
Hal yang sama juga terjadi pada
tahun 2012, bahwa data BPS menyebutkan angka kemiskinan Indonesia sejumlah
28,59 juta jiwa atau 11,66 %, namun pemerintah justru menggulirkan program
Jamkesmas untuk hampir 76,4 juta jiwa (angka yang relatif sama dengan tahun
2008). Ketidakjelasan jumlah sasaran penerima bantuan program pengentasan
kemiskinan telah menjadikan target pengurangan angka kemiskinan berjalan lambat
dan tidak terkelola dengan baik. Dugaan faktor politik dan
kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat mencuat dibalik program-program ini.#
0 Response to "Kerancuan Dalam Mengatasi Kemiskinan Indonesia"
Post a Comment