”Waktu masih berkecimpung dalam dakwah kampus,
sangat mudah untuk merekrut teman-teman untuk beraktifitas. Membuat kajian,
seminar, ta’lim, studi Islam dan lain sebagainya. Semua jadi semarak. Namun,
saat kami telah lulus dan mulai terjun ke masyarakat dikampung-kampung kami
sendiri, jangankan untuk mengajak menjadi panitia, untuk mendatangkan mereka
hadir dalam pengajian saja sungguh susahnya luar biasa.”
Demikian
curahan hati (curhat) kedua dari sebagian besar mantan aktifis kampus yang
sudah terjun ke masyarakat di pelosok desa-desa tertinggal. Belum lagi ditambah
sederetan masalah internal (pribadi) dimana dulu ketika di Kampus masih gadis
dan lajang yang tidak punya tanggungan apa pun, sekarang sudah bertambah
kewajibannya untuk menghidupi istri dan anak-anak, sehingga semakin sempit
waktunya untuk melakukan aktifitas dakwah di kampung.
Keluh
kesah ini sebenarnya tidak perlu terjadi, bila kita menjadi orang pertama yang
datang ke masjid dan orang terakhir yang meninggalkan masjid. Minimal para
takmir masjid bisa diajak. Atau bila kita benar-benar mengamalkan adab Islam
kepada tetangga. Membiasakan memberi hadiah, menjenguk yang sakit, membudayakan
silaturahim, dan lain sebagainya. Kebiasaan ini tentu akan memudahkan kita
untuk mengajak tetangga di kanan kiri rumah.
Benar,
saat dikampus, kita berada dalam kalangan yang homogen yaitu kalangan
intelektual. Maka,
kita sentuh kebutuhan mereka dengan intelektual. Sedangkan di kampung, ada
banyak kalangan di sana. mulai yang berpendidikan tinggi sampai yang tak pernah
sekolah. Mulai yang ustadz hingga kalangan preman. Mulai saudagar kaya hingga
kaum miskin papa. Semua ada di sana, dan tiap-tiap elemen masyarakat itu
tentunya berbeda kebutuhannya, sehingga berbeda pula cara kita mendakwahinya.
Itulah
mengapa dalam memasuki dakwah kampung, kita perlu memberikan solusi bagi
masyarakat. Membantu mereka menyelesaikan permasalahannya. Sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah SAW saat terjadi perselisihan siapakah kabilah yang layak
memindahkan batu hajar aswad. Beliau memberikan solusi dengan menghamparkan
sorbannya, lalu meletakkan batu diatas sorban itu dan setiap kabilah bisa
bersama-sama memindahkan batu hajar aswad.
Dakwah
di kampung, tentu tidak pernah melihat berapa besar IPK dan seberapa bagus
nilai di Kampus, apalagi bila ternyata kelebihan itu membuat kita menjadi
sombong. Namun masyarakat kampung, akan melihat bagaimana kita memberi manfaat
kepada mereka.
“Sebaik-baik
manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. ”
(HR. Bukhari).
0 Response to "Dari Dakwah Kampus ke Dakwah Kampung"
Post a Comment