“Waktu kuliah dulu, saat masih
berkecimpung dalam dakwah kampus, sangat mudah untuk beraktifitas. Banyak waktu
untuk bisa membuat kajian, seminar, ta’lim, studi Islam dan lain sebagainya. Semua
jadi semarak karena semangat dan idealisme yang menggelora. Namun, saat telah
lulus dan hidup ditengah masyarakat, jangankan untuk beraktifitas dakwah hingga
kampung-kampung tertinggal di negeri ini, untuk mengurus diri sendiri dan keluarga
saja sudah kedodoran.”
Demikian curahan hati (curhat) beberapa
mantan aktifis dakwah kampus yang sudah selesai “berkuliah ria” dan hidup
ditengah masyarakat yang heterogen dan beragam budaya. Sederetan masalah
internal dan kepentingan pribadi telah menggiring mereka menjadi sangat
pragmatis : “Yang penting gue dan anak-anak harus hidup sejahtera dulu, tak
peduli yang lain.”
Dulu ketika di Kampus, status memang
masih single dan tidak punya tanggungan apa pun, idealisme untuk menolong sesama
dapat dilakukan tanpa pamrih. Namun sekarang, seiring dengan bertambahnya
kewajiban untuk menghidupi istri dan anak-anak, waktu untuk melakukan aktifitas
dakwah semakin sempit bahkan hilang sama sekali.
Keluh kesah ini sebenarnya tidak
perlu terjadi, bila kita tetap mengingat bahwa dakwah kampus adalah latihan
untuk aktifitas dakwah yang sesungguhnya di masyarakat. Tidak boleh kita lupa
bahwa banyak orang-orang yang menanti manfaat dari kita yang telah mengenyam
pendidikan tinggi. Itulah masyarakat sekitar kita, dan lebih jauh lagi,
penduduk di ujung negeri sana, kampung-kampung di pelosok tertinggal.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik
manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. ”
(HR. Bukhari).
Dakwah kampung, inilah tantangan
sesungguhnya bagi para mantan aktifis dakwah kampus itu. Tentulah kita semua
mengetahui bahwa kemiskinan itu sebagian besar ada di desa dan kampung. Bahkan
jauh dipelosok desa dan kampung. Mereka hidup dengan segala keterbatasan, tidak
ada ruang untuk mengakses informasi baik dalam hal meminjam dana untuk membuka
usaha kecil, memperkaya ilmu untuk menambah keahlian, atau sekedar informasi
tentang pentingnya kebersihan, menjaga kesehatan, memelihara sanitasi dan
pembuangan sampah, juga kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menyekolahkan anak-anak
mereka.
Akibatnya, mereka meminjam dana dari
rentenir untuk menyambung hidup, namun hidupnya justru berakhir karena
terhimpit hutang. Rumah-rumah mereka jorok dan kumuh hingga mirip kandang hewan
karena penuh dengan kecoa, lalat dan belatung-belatung. Mereka juga tak bisa
menambah penghasilan karena tak ada keterampilan. Dan yang lebih parah lagi,
anak-anak mereka dibiarkan saja putus sekolah, sehingga memperkuat julukan :
”Orang tua yang miskin akan melahirkan anak yang miskin.”
Itulah sebabnya, mengapa nikmat
dakwah kampus perlu ditularkan hingga ke kampung-kampung dipelosok nusantara
ini. Kalau berbagi keluhan biasanya secara spontan saja bisa dilakukan, tapi untuk
berbagi nikmat, hanya orang-orang yang berharap ridho-Nya yang dapat
melakukannya, apalagi berbagi untuk anak-anak yang jauh dipelosok kampung sana,
yang jauh lebih miskin, dan jauh lebih lemah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini kami persembahkan untuk
pembaca semua, khususnya untuk para orang tua asuh bagi anak-anak yatim desa,
serta segenap Pengurus Yayasan Munashoroh Indonesia (YMI) yang sebagian
besarnya adalah aktifis mahasiswa di Kampus dulu, dan sekarang telah merambah
dakwahnya ke kampung-kampung. Alhamdulillah, sudah 11 pelosok desa dan kampung yang
dibina YMI hingga saat ini.
0 Response to "Dari Dakwah Kampus ke Dakwah Kampung (Bagian 1)"
Post a Comment