Wajahnya masih sangat lugu ketika ia pertama kali
menginjakkan kaki di ibukota Jakarta. Eli (bukan nama sebenarnya), usianya
masih sangat belia, 14 tahun. Di saat
teman-teman sebayanya sedang tekun menuntut ilmu di
sekolah, ia malah nekat pergi meninggalkan orang tua dan saudara-saudaranya
demi menyambung hidup di Jakarta.
Bukan karena ia tak berminat lagi untuk melanjutkan sekolah
yang lebih tinggi (SMP dan SMA), namun
ia terbentur pada faktor biaya. Untuk membiayai
kebutuhan dasarnya saja (seperti makan 3 kali sehari), orang tuanya sudah
tak sanggup. Karena ia masih punya 6 adik yang harus diurus oleh orang tuanya.
Tanpa berbekal
pengalaman dan keterampilan hidup (life skill), ia mencoba mengadu nasib di Jakarta menjadi PRT (Pembantu Rumah Tangga). Ia tidak terlalu
mengerti apa tugas yang harus ia
kerjakan sebagai PRT, ia pun tak paham betul betapa kerasnya hidup di Jakarta.
Yang ia pahami bahwa dengan bekerja ia akan mendapatkan uang (gaji) untuk memenuhi keperluannya. Selain itu, ia
pun harus menyisihkan sedikit dari
gajinya itu untuk adik-adiknya di kampung.
Memang, Eli tak sendiri. Karena masih banyak Eli-eli lainnya yang bernasib sama. Mereka putus
sekolah karena sudah tak sanggup membiayainya lagi. Walau bayaran sekolah (SPP/Sumbangan
Pembinaan Pendidikan) di beberapa daerah sudah digratiskan, tetapi kebutuhan
sekolah bukan sekedar SPP. Ada biaya buku paket dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang
harganya mahal, ada biaya untuk seragam, buku tulis, sepatu, tas, dll.
Banyak keluarga di desa yang tak sanggup memenuhi semua itu.
Melihat kenyataan itu, Yayasan Munashoroh Indonesia (YMI),
sebagai Yayasan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kesehatan dan
ekonomi, tak tinggal diam. Sebuah program diluncurkan untuk menyelamatkan
generasi bangsa ini dari keterpurukan, yang disebut program Orang Tua Asuh
Yatim-Dhuafa di Desa Terpencil. Tujuan program ini adalah untuk mengurangi jumlah anak-anak
putus sekolah formal yang ada di desa-desa terpencil. Orang Tua Asuh inilah yang akan menyekolahkan anak-anak tersebut sampai mereka lulus SMU dan bisa mandiri. Hingga saat ini,
sudah 216 anak yatim dhuafa yang bisa sekolah lagi karena sudah ada orang tua asuh yang komitmen menyelokahkan mereka. Anak-anak yatim dhuafa ini tersebar di 11 pelosok desa tertinggal yang dibina YMI di Jawa Barat dan Banten, yaitu 3 desa di Kuningan, 2 kampung di Pandeglang, 1 desa di Cirebon, 1 desa di Bekasi, 2 kampung di Sukabumi, 1 desa di Tangerang, dan 1 desa di Indramayu.
Setiap ada kenaikan kelas, YMI juga mendistribusikan berbagai keperluan sekolah seperti buku, seragam, sepatu, tas, dan alat tulis, serta bagi anak asuh yang berprestasi, diberikan sebuah sepeda, untuk menunjang keperluan transportasi anak-anak tersebut yang lokasi rumah dan sekolahnya sangat jauh.
0 Response to "Ayo Selamatkan Mereka dari Keterpurukan"
Post a Comment